Page Contents
- 0.1 Rasa Barongko yang Gak Cuma Soal Pisang
- 0.2 Kesalahan Pertama Gue Saat Coba Bikin Barongko
- 0.3 Tips Praktis dari Trial-and-Error ala Dapur Sendiri
- 0.4 Pelajaran yang Gue Dapat dari Makanan Tradisional Ini
- 0.5 Kenapa Barongko Patut Dikenal Lebih Luas
- 0.6 Resep Barongko ala Dapur Gue
- 0.7 Akhir Kata: Barongko Bukan Sekadar Kue
- 1 Author
Barongko Oke, gue harus jujur dari awal. Gue tuh bukan orang Bugis. Tapi pertama kali gue nyicip Barongko, langsung jatuh cinta. Bukan cinta yang bikin food deg-degan, tapi cinta yang bikin kangen—kayak makanan yang ngingetin lo sama rumah, meskipun itu bukan rumah lo.
Jadi ceritanya waktu itu gue lagi main ke rumah temen lama di Makassar. Dia bilang, “Lo harus wikipedia cobain Barongko. Ini makanan dari nenek gue.” Dalam hati gue mikir, “Ah paling juga kayak nagasari.” Tapi, begitu suapan pertama masuk ke mulut… eh, ternyata beda! Lembut, manis, creamy, dan punya rasa yang dalem banget.
Rasa Barongko yang Gak Cuma Soal Pisang
Kalau lo belum pernah makan Barongko, bayangin ini: pisang matang yang dilumat, dicampur santan kental, telur, gula, dan sedikit garam. Terus semuanya dibungkus daun pisang dan dikukus sampai padat tapi masih lembut kayak puding. Ada sensasi gurih-manis yang pas banget, dan aromanya… duh, daun pisangnya bikin wangi yang khas banget.
Gue sempat salah kira. Dulu gue pikir makanan kayak gini udah gak relevan, kalah saing sama kue-kue modern ala Instagram. Tapi ternyata, justru sekarang banyak yang mulai cari kembali ke makanan tradisional kayak Barongko ini.
Dan gue paham kenapa. Karena rasa Barongko tuh jujur. Gak neko-neko. Rasanya sederhana, tapi punya kedalaman. Kayak orang tua yang cuma senyum, tapi lo tahu dia udah ngerti semuanya.
Kesalahan Pertama Gue Saat Coba Bikin Barongko
Gue pikir bikin Barongko itu gampang. Pisang + santan + telur + kukus. Gitu doang kan? Eits, tunggu dulu. Ternyata enggak segampang itu, Ferguso!
Kesalahan pertama gue? Pakai pisang yang belum terlalu matang. Waktu dikukus, hasilnya jadi agak keset, dan rasa manisnya kurang nendang. Barongko itu butuh pisang raja atau kepok matang banget, yang udah berbintik-bintik hitam di kulitnya. Itu baru manis alaminya keluar.
Kesalahan kedua? Santan instan yang encer. Temen gue bilang, “Kalau bisa, santannya peras sendiri. Atau pakai yang kental banget.” Dan bener aja, pas gue pakai santan asli, rasanya langsung naik kelas. Lebih legit, lebih gurih, dan lebih mirip sama yang dibuat nenek-nenek Bugis.
Dan yang terakhir, jangan pelit sama daun pisang. Daun pisang bukan cuma bungkus, tapi juga aromanya ikut nyatu ke dalam kue. Jadi kalau lo pakai alumunium foil doang, rasanya udah beda jauh.
Tips Praktis dari Trial-and-Error ala Dapur Sendiri
Setelah beberapa kali gagal, akhirnya gue nemu formulasi yang paling pas buat bikin Barongko yang rasanya mirip sama buatan temen gue di Makassar.
Berikut tipsnya:
-
Pakai pisang yang overripe – makin matang, makin manis dan creamy.
-
Santan kental lebih baik – bisa dari kelapa parut langsung atau santan instan full cream.
-
Telur ayam kampung lebih disarankan kalau mau warna kuning yang cantik.
-
Tambahin vanili dan sedikit garam – ini rahasia biar rasanya balance.
-
Kukus dengan api sedang – biar gak pecah atau terlalu basah.
Dan satu lagi: dinginkan Barongko di kulkas sebelum disajikan. Rasanya jadi lebih creamy dan segar kayak puding dingin.
Pelajaran yang Gue Dapat dari Makanan Tradisional Ini
Dulu gue mikir makanan tradisional itu terlalu “jadul”. Tapi setelah ngulik soal Barongko, gue sadar, makanan kayak gini itu justru punya identitas yang kuat. Setiap suku punya rasa, cara, dan cerita sendiri. Barongko tuh bukan cuma soal pisang dan santan, tapi tentang memori, tradisi, dan warisan budaya.
Waktu gue tanya ke ibu temen gue, dia cerita kalau dulu Barongko itu disajikan pas acara penting. Pernikahan, khitanan, bahkan acara adat. Dan setiap keluarga punya racikan rahasia masing-masing. Ada yang nambahin daun pandan, ada yang suka lebih gurih, ada yang suka ditambah topping kacang. Kayak ada versi “custom” yang bikin tiap Barongko beda di tiap rumah.
Kenapa Barongko Patut Dikenal Lebih Luas
Di tengah gempuran dessert modern, menurut gue Barongko layak naik panggung lagi. Gak cuma karena rasanya enak, tapi juga karena dia punya cerita. Dan lo tahu apa? Sekarang makin banyak cafe-cafe yang mulai menyajikan Barongko dalam bentuk yang lebih “modern”—dengan plating cantik, disajikan dingin dengan es krim vanilla. Gue sempat coba satu waktu di Makassar, dan surprisingly enak banget!
Tapi tetap, gak ada yang ngalahin Barongko buatan rumahan yang dikukus di dandang tua dengan daun pisang dari kebun belakang. Rasanya bukan cuma tentang makanan, tapi tentang nostalgia.
Resep Barongko ala Dapur Gue
Karena banyak yang nanya resep (yaelah, padahal cuma dua orang yang nanya, tapi tetap gue anggap rame), ini dia versi yang menurut gue paling dapet rasanya:
Bahan:
-
5 buah pisang raja matang banget
-
200 ml santan kental
-
2 butir telur
-
3 sdm gula pasir (sesuai selera)
-
Sejumput garam
-
½ sdt vanili
-
Daun pisang untuk membungkus
-
Tusuk gigi/lidi
Cara Bikin:
-
Haluskan pisang sampai lembut, campur dengan telur, gula, garam, vanili, dan santan. Aduk rata.
-
Panaskan daun pisang sebentar di atas api biar lentur dan gak sobek.
-
Ambil 2-3 sdm adonan, bungkus dalam daun pisang, bentuk seperti lontong.
-
Kukus selama 30-40 menit sampai padat dan matang.
-
Dinginkan, lalu simpan di kulkas. Sajikan dingin lebih mantap.
Akhir Kata: Barongko Bukan Sekadar Kue
Kalau lo pengen bikin konten yang relate, bermakna, dan bisa viral karena keunikan, Barongko itu salah satu topik yang underrated tapi penuh potensi. Bisa dijadikan konten resep, budaya, bahkan personal story yang menyentuh.
Dan buat lo yang belum pernah nyicip Barongko? Coba deh. Minimal sekali seumur hidup. Siapa tahu, lo juga jatuh cinta kayak gue.
Baca Juga Artikel Ini: Sop Buah Segar: Rahasia Kesegaran yang Selalu Cocok di Segala Cuaca